Jumat, 27 November 2009

WELCOME TO THE GREYZONE

Nggak selamanya hitam itu hitam, dan putih itu putih…

Masih ingat dong, dongeng-dongeng yang sering diceritakan pada saat kita kecil? Pangeran dan putri selalu digambarkan sebagai orang baik-baik dengan hati seputih salju, sementara sang ratu yang iri hati (bisa juga penyihir atau seekor naga!) selalu berusaha mencelakakan mereka. Yak, dalam dongeng, tiap tokoh memang selalu jelas karakternya, ada yang jahat dan yang baik, ada yang salah dan yang benar. Sayangnya,dialam nyata nggak semuanya bisa dilihat se-simple itu,lho…


The middle Ground

Sesungguhnya, memang nggak semua hal bisa kita’putuskan’ sebagai hitam atau putih. Jika kita perhatikan lebih jauh, seringkali ‘si hitam’ dan ‘si putih’ ini jadi nggak mutlak salah atau benar, tapi ‘diantaranya’. Misalnya, dalam cerita fiksi Star Wars dimana Darth Vader ternyata punya latar belakang kuat yang membuatnya menjadi tokoh jahat. Robin Hood juga begitu, soalnya diakan mencuri uang orang kaya untuk dibagi-bagikan ke rakyat miskin.
Inilah yang disebut dengan grey area (daerah abu-abu). Masih ingat teori warna yang pernah kita pelajari, kan? Sama seperti namanya, daerah abu-abu ini adalah daerah yang merupakan area in-between (middle ground) tempat hitam dan putih bertemu dan bercampur menjadi satu. Butuh kemampuan khusus untuk bisa melihat grey area ini sebagai daerah simana sebuah masalah atau suatu hal dapat memiliki muatan ‘kebaikan’ sekaligus juga ‘keburukan’. Makanya, kita juga jangan buru-buru mengatakan sesuatu itu baik atau buruk sebelum mengadakan penelitian menyeluruh terhadap apapun.


Tahan Emosi
Masuk ke grey area memang berat harus bersikap obyektif. Bersikap obyektif mungkin lebih mudah dilakukan kalau kita adalah ‘orang luar’ yang nggak terlibat dalam situasi tersebut. Tapi gimana kalau kita ikut ‘berperan serta’ dan ambil bagian didalamnya, atau bahkan jadi korban? Hmm…belum tentu semudah itu, lho!
Misalnya saja, teman sekelas kita tertangkap basah memegang dompet kita tanpa izin! Wah wah wah..kalau sudah begini kita pasti langsung emosi dan berpikiran negatif banget sama dia. Iya sih, siapa juga yang nggak kesal jadi korban pencurian. Ya nggak? Tapi coba kita telaah lagi latar belakang kejadian itu, ajak ngomong baik-baik teman kita itu sebelum menyeretnya ke ruang guru atau ruang BP. Emosi dapat mempengaruhi penilaian kita.
Nah, saat hati sudah adem, kita bakal bisa berpikir lebih positif dan melihat masalah tersebut di area abu-abu. Siapa tahu dia hanya mengembalikan dompet kita yang terjatuh, penyakit kleptomania-nya lagi kambuh, atau terpaksa karena butuh uang untuk biaya berobat anggota keluarganya yang sedang sakit.


Bukan Berarti Naif
Tenaaang, bersikap abu-abu bukan berarti kita jadi plin-plan atau naïf,kok. Suka atau nggak, kita nggak bisa selamanya memandang sesuatu ‘as it is’ atau harafiah banget. Sikap abu=abu juga penting aagar kita bisa memandang suatu masalah dengan pemikiran yang lebih luas dan nggak subyektif. Nah, kalu kita sudah berhasil menguasai teknik abu-abu ini, berarti kita sudah ‘setingkat’ lebih dewasa lagi. Keren,kan?

William Perry, psikolog yang mendukung pemikiran ini bilang, “Kadar kedewasaan seseorang bida dilihat dari caranya menyikapi suatu masalah. Ia tidak lagi menganggap hanya ada satu jawaban benar saja untuk setiap kasus. Lama kelamaan, ia akan menyadari bahwa setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda terhadap satu hal”. Nah, semakin bertambahnya usia, kita juga belajar untuk bersikap kritis, melihat dari banyak sudut pandang dang menghargai perspektif yang beragam itu.


Ada Pengecualian
Memang sih, nggak semua hal bisa berada di Grey Area ini karena ada juga hal-hal yang completely black atau totally white. Misalnya saja, membunuh orang dengan sengaja, terlibat narkoba, atau melakukan free sex yang memang absolutely masuk daerah ‘hitam’. Apapun alasannya, semua orang tahu bahwa hal-hal tersebut memang masuk kedalam kategori dilarang buat dilakukan.
Atau bisa juga kalau kita menolong orang dari kesusahan, tidak ada yang bakal mendebat bahwa hal tersebut bukan perbuatan yang ‘putih’. Nggak peduli apakah orang tersebut baik atau jahat. Yang penting adalah kita tahu kapan saatnya melihat sesuatu secara ‘abu-abu’ dan kapan mengatakan dengan tanpa kompromi bahwa ‘black is black’ atau ‘white is white’. (dea's Blog : dari beberapa sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar